Indocorners.com|PADANG – Sabtu dini hari, 31 Mei 2025, menjadi malam yang tak akan pernah dilupakan keluarga Desi Erianti. Dalam gelapnya kota dan kepanikan yang membuncah, seorang perempuan warga Gunung Sariak, Padang, harus menempuh perjalanan terakhirnya—bukan dengan ambulans, tapi dengan becak motor (bentor), menuju harapan yang ternyata tak pernah tiba.
Desi, 39 tahun, merintih sesak napas di rumahnya sekitar pukul 00.15 WIB. Nafasnya tersengal, tubuhnya lemah. Dalam kondisi kritis itu, keluarga segera membawanya ke RSUD dr. Rasidin Padang, rumah sakit pemerintah terdekat dan yang semestinya menjadi tempat pertama untuk pertolongan darurat.Namun, bukan pertolongan yang mereka temui. Bukan pula empati. Menurut pengakuan keluarga, pihak rumah sakit menilai Desi tidak dalam kondisi emergency. Mereka diminta kembali—dengan alasan prosedur.
“Kami sangat kecewa. Saat itu kami panik, karena Desi sesak napas dan rumah sakit terdekat adalah RSUD Rasidin. Tapi malah ditolak hanya karena dianggap tidak emergency,” ujar Yurnani, kerabat korban, dengan suara tercekat.Tanpa kendaraan yang layak, tanpa waktu untuk berpikir panjang, keluarga membawa Desi kembali pulang menggunakan bentor—dengan tubuhnya yang kian lemah dan nafas yang tinggal hitungan. Di rumah, keluarga hanya bisa memberikan pertolongan seadanya. Tak ada alat, tak ada oksigen. Hanya doa dan harapan yang menyelimuti malam itu.
Tapi harapan itu runtuh menjelang subuh. Desi dilarikan ke RSU Siti Rahmah, rumah sakit swasta yang masih menjadi pilihan terakhir mereka. Sayangnya, semua sudah terlambat. Di ruang IGD rumah sakit tersebut, Desi dinyatakan meninggal dunia.Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kami sangat menyesalkan sikap RSUD Rasidin yang menolak kakak kami, padahal ia butuh pertolongan,” ujar Yudi, adik korban yang juga seorang jurnalis Padang Ekspres.
Suara Duka dan Pertanyaan yang Menggema
Kabar meninggalnya Desi setelah dugaan penolakan dari rumah sakit pemerintah memicu duka sekaligus kemarahan di tengah masyarakat.**