Kebijakan Kadis DKIPS Sulut Menyalahi UU Administrasi Pemerintahan, Ketum SPRI Heintje Mandagie: Dewan Pers Bukan Regulator

Daerah11 Dilihat

Manado, indocorners.com – Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, Persandian dan Statistik (DKIPS) Propinsi Sulawesi Utara (Sulut), Evans Steven Liow membuat kebijakan kontra produktif dengan mewajibkan media yang bekerja sama dengan Pemprop Sulut harus terverifikasi Dewan Pers.

Kebijakan Pemerintah Propinsi tersebut sangat bertentangan atau menyalahi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Heintje Mandagie melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (14/03/2025).

Ketum SPRI Hence Mandagi menerangkan, pada UU Administrasi Pemerintahan disebutkan, kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Pada bagian lain, lanjut Mandagi, pejabat administrasi pemerintahan dilarang menyalahgunakan kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.

“Bagaimana mungkin Pemerintah Propinsi Sulut menugaskan Dewan Pers dari lembaga independen dan fasilitator menjadi regulator untuk melaksanakan tugas Kantor Dinas KIPS Sulut memverifikasi media dalam rangka serap anggaran APBD Sulut tahun 2025,” kata Mandagi mempertanyakan kebijakan Kadis Liow yang bakal mendatangkan Dewan Pers ke Sulut untuk bertugas memverifikasi media.

Menurut Mandagi, tugas dan fungsi Dewan Pers berdasarkan Undang-Undang Pers hanya khusus mendata Perusahaan Pers namun diterjemahkan lain menjadi Tindakan Verifikasi.

“Jika Pemprop Sulut ngotot menggunakan hasil verifikasi Dewan Pers sebagai salah satu dokumen dalam rangka penyerapan APBD maka itu berpotensi melanggar UU Administrasi. Karena produk verifikasi Dewan Pers tidak bisa digunakan untuk administrasi pemerintahan karena Dewan Pers adalah lembaga independen bukan lembaga pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU Pers,” terang Mandagi yang juga merupakan Ketua LSP Pers Indonesia.

Selain itu, menurut Mandagi, Presiden Republik Indonesia pada sidang di Mahkamah Konstitusi tahun 2021 lalu, sudah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers. Artinya, menurut Presiden, Dewan Pers bertindak sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator).

Namun begitu, Mandagi juga mendukung kebijakan Pemerintah Propinsi Sulut yang sangat selektif dalam memilih media massa mitra yang berkualitas. “Seharusnya untuk kebutuhan verifikasi media daring yang berkualitas, Pemprop Sulut melibatkan pihak ketiga atau perusahaan profesional yang memiliki teknologi untuk mengukur kapasitas dan kualitas media, bukannya Dewan Pers,” ujar Mandagi.

Karena menurutnya, banyak sekali media yang terverifikasi Dewan Pers justru kedapatan tidak berkualitas dan wartawannya tidak profesional, sementara ada ribuan media yang tidak terverifikasi Dewan Pers justru sangat profesional dan berkualitas.

Jika alasan untuk menjamin kualitas media kemudian Pemerintah Propinsi Sulut menugaskan Dewan Pers untuk verifikasi media, itu merupakan kebijakan konyol dan mendegradasi kapasitas Dewan Pers sebagai lembaga independen,” tandas Mandagi.

Dewan Pers, menurut Mandagi, bukan perusahaan berteknologi canggih yang berbisnis IT dan memiliki kemampuan mendeteksi kapasitas media daring atau media online yang berkualitas.

“Jika Pemprop Sulut tetap menjalankan kebijakan tersebut maka SPRI mendorong pemilik media berbadan hukum yang mengalami diskriminasi dan kerugian untuk segera membuat laporan atau aduan ke Kejaksaaan Tinggi Sulut untuk pencegahan korupsi tentang memperkaya orang lain, dan ke Ombudsman RI untuk praktek maladministrasi,” tegas Mandagi.

Kadis Liow perlu mendalami perlindungan hak azasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

“Produk verifikasi Dewan Pers sudah jelas tidak memiliki dasar hukum kebijakan administrasi pemerintahan. Untuk itu jika tetap dipaksakan maka Pemprop Sulut menerapkan kebijakan diskriminatif yang merupakan bentuk maladministrasi,” tandas Mandagi pemegang sertifikat asesor dan trainer di bidang pers dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Mandagi mengungkapkan, polemik seputar Verifikasi Dewan Pers dan Uji Kompetensi Wartawan sudah berakhir seiring munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 38/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hampir seluruh Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia sudah tidak lagi membuat kebijakan Kerjasama media menggunakan Verifikasi Dewan Pers dan sertifikat UKW Dewan Pers.

Pemerintah Daerah yang menggunakan kebijakan kontraproduktif ini justru kepala-kepala daerahnya banyak yang tertangkap KPK, Jaksa, dan Polisi karena terlibat kasus korupsi.

Media-media non verifikasi Dewan Pers malah aktif dan independen mengawasi pemerintahan di daerah yang kepala daerahnya serta kepala dinas dan badan banyak sekali ditangkap aparat penegak hukum karena terlibat praktik korupsi.

Disebutkan, baru-baru ini KPK menetapkan sejumlah pejabat di Bank Jabar gara-gara iklan. Bahkan eks Gubernur Jabar Ridwan Kamil ikut terseret isu korupsi ini dan bakal dipanggil dan diperiksa penyidik KPK.

Seharusnya, tegas Mandagi, Pemprop Sulut berkaca dari kasus itu dan tidak lagi bertindak sewenang-wenang dalam membuat kebijakan publik.

“Saran saya gubernur segera copot Kadis Liow agar tidak ada lagi kegaduhan. Tempatkanlah pejabat yang profesional dan mengerti tentang ruang lingkup pers dan media. Kemudian libatkan perusahaan pihak ketiga yang profesional untuk menyalurkan APBD kepada media-media yang diverifikasi oleh perusahaan tersebut secara terukur, sehingga pemerintah tidak disalahkan dan dituduh diskriminatif,” demikian Mandagi. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *