Dari Tradisi ke Transformasi: Merantau dan Dinamika Pendidikan Minangkabau

Daerah12 Dilihat

Dharmasraya.Indocorners.com

Maulita Putricia (Mahasiswi Sastra Jepang Universitas Andalas)
Lahir di tanah Dharmasraya, saya membawa latar belakang tersebut ke Kota Padang melanjutkan pendidikan di kampus hijau Universitas Andalas. Berangkat dari kampung halaman, harapan saya mencari pengalaman dan menuntut ilmu merupakan implementasi dari warisan tradisi leluhur masyarakat Minangkabau.

Merantau bukan sekadar meninggalkan kampung halaman, tapi juga soal membawa visi dan peluang untuk kemajuan. Menggali ilmu dan menaikkan derajat dah harkat martabat orang tua. Dan satu harapan yang ada di kepala saya, adalah membawa harus nama keluarga dengan cara meraih pendidikan dengan nilai yang sangat memuaskan serta mendapatkan pekerjaan yang layak kelak.

Sejak dahulu, masyarakat Minangkabau dikenal dengan perantaunya di penjuru Nusantara. Warisan leluhur ini menjadi suatu kewajiban bagi mereka yang mulai menginjak usia dewasa. Maka oleh sebab itu, ada sebuah nilai yang terbangun di dalam kultur budaya minang kabau bahwa merantau adalah bagian dari tanda kecintaan kepada kampung halaman.

Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam ungkapan berikut :

Sayang jo anak dilacuik i
Sayang jo kampuang ditinggakan
Ujan ameh di nagari urang
Ujan batu di nagari awak
Kampuang nan jauah dibantu juo

Dari pepatah di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang dibangun oleh masyarakat Minangkabau adalah merantau merupakan bagian dari upaya untuk membangun kembali kampung halaman. Sebab itu, tidak mengherankan bahwa ikatan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau amat kuat sekali.

Perantau Minang tidak hanya peduli pada kelompoknya saja. Banyak di antara mereka menjadi tokoh masyarakat setempat, berikhtiar dan berjuang bersama dengan masyarakat sekitar.

Layaknya Mohammad Hatta, pemuda asal Bukittinggi yang dijuluki sebagai Bapak Ekonomi Indonesia, sejak muda merantau ke Belanda. Untuk menimba ilmu ekonomi, dan mengasah pemikiran politiknya. Di sanalah Hatta belajar tentang keadilan sosial dan sistem ekonomi yang kemudian ia bawa untuk membangun Indonesia merdeka.

Selain itu, Tan Malaka. Pemuda asal Sumatera Barat yang menjunjung tinggi pendidikan dan tradisi merantau. Juga merupakan tokoh penggerak revolusi Indonesia yang gigih menyuarakan perlawanan terhadap Belanda. Dan memperjuangkan revolusi sosial pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan Soekarno pada tahun 1945.

Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Karantau bujang daulu
Dirumah paguno alun

Pepatah di atas bagi masyarakat Minangkabau bukan hanya rangkaian kata semata. Melainkan sebagai filosofi kehidupan yang menjadi sumber spirit yang meresap ke jiwanya masyarakat Minangkabau.

Istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran. Seorang pemuda Minangkabau dianggap belum lengkap pengalaman hidupnya, sebelum ia meninggalkan kampung halamannya. Hal ini disebabkan karena sejak dulu bagi orang Minangkabau, merantau menjadi ajang pembuktian diri bisa mandiri, beradaptasi, dan bawa pulang ilmu atau rezeki buat keluarga. Bagi pemuda Minangkabau, merantau merupakan suatu budaya yang sudah mendarah daging.

Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, perantau asal Minangkabau yang tersebar di seluruh penjuru tanah air dan di luar negeri. Merupakan aset terbesar bagi tanah kelahiran mereka. Kontribusi ekonomi perantau Minang terhadap daerah asal mereka, cukup signifikan. Dengan perbaikan ekonomi, seeorang dapat membangun nagari dengan materi yang mereka punya.

Seiring berjalannya waktu, pola perantau orang Minang mengalami evolusi. Sebelum kemerdekaan, mengingat keamanan bagi perantau perempuan kurang baik, sebab di rantau kondisi keamanan yang tidak baik, merantau hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Setelah kemerdekaan, para perantau sudah mulai berangsur-angsur membawa keluarga atau saudara perempuan ke perantauan dengan berbagai alasan.

Kebiasaan merantau sudah menjadi suatu tradisi yang diturunkan ke generasi generasi berikutnya di Minangkabau. Oleh karena itulah merantau sudah menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat Minangkabau. Seperti yang diungkapkan oleh Nabila Oktaf Putri, mahasiswa perantau asal Payakumbuh dari Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

“Sudah tidak tabu lagi jika menemukan perantau dengan asal yang sama dengan saya, baik untuk meneruskan pendidikan maupun bekerja”.

Sama halnya dengan saya, banyak mahasiswa Universitas Andalas yang meninggalkan daerah asalnya untuk melanjutkan pendidikan. Maksudnya, di era modern sekarang. Merantau bukan hanya sebagai ajang perbaikan ekonomi semata. Namun saat ini, terlihat meningkatnya minat pemuda-pemudi Minangkabau untuk menuntut ilmu di perantauan.

Begitu kuat jiwa perantau bagi orang Minangkabau, sehingga tidak mengherankan jika banyak orang Minang yang pada awalnya hanya berjualan di kaki lima menjadi kaya raya dengan bermodalkan ketekunan dan keuletan. Oleh sebab itulah tidak sedikit perantau asal Minang menempati posisi penting di kawasan nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Brunai, Jepang, Thailand dan ke negara lainnya.

Adanya cerita orang-orang terdahulu yang sukses dalam perantauan merupakan motivasi tersendiri bagi kami mahasiswa Sastra Jepang, terkhususnya yang berlatarbelakang sebagai masyarakat Minangkabau untuk berperan menjadi pelaku terjadinya tradisi merantau di dalam masyarakat Minang.(maulitaPutricia)

 

 

 

Maulita Putricia (Mahasiswi Sastra Jepang Universitas Andalas)

Lahir di tanah Dharmasraya, saya membawa latar belakang tersebut ke Kota Padang melanjutkan pendidikan di kampus hijau Universitas Andalas. Berangkat dari kampung halaman, harapan saya mencari pengalaman dan menuntut ilmu merupakan implementasi dari warisan tradisi leluhur masyarakat Minangkabau.

Merantau bukan sekadar meninggalkan kampung halaman, tapi juga soal membawa visi dan peluang untuk kemajuan. Menggali ilmu dan menaikkan derajat dah harkat martabat orang tua. Dan satu harapan yang ada di kepala saya, adalah membawa harus nama keluarga dengan cara meraih pendidikan dengan nilai yang sangat memuaskan serta mendapatkan pekerjaan yang layak kelak.

Sejak dahulu, masyarakat Minangkabau dikenal dengan perantaunya di penjuru Nusantara. Warisan leluhur ini menjadi suatu kewajiban bagi mereka yang mulai menginjak usia dewasa. Maka oleh sebab itu, ada sebuah nilai yang terbangun di dalam kultur budaya minang kabau bahwa merantau adalah bagian dari tanda kecintaan kepada kampung halaman.

Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam ungkapan berikut :

Sayang jo anak dilacuik i
Sayang jo kampuang ditinggakan
Ujan ameh di nagari urang
Ujan batu di nagari awak
Kampuang nan jauah dibantu juo

Dari pepatah di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang dibangun oleh masyarakat Minangkabau adalah merantau merupakan bagian dari upaya untuk membangun kembali kampung halaman. Sebab itu, tidak mengherankan bahwa ikatan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau amat kuat sekali.

Perantau Minang tidak hanya peduli pada kelompoknya saja. Banyak di antara mereka menjadi tokoh masyarakat setempat, berikhtiar dan berjuang bersama dengan masyarakat sekitar.

Layaknya Mohammad Hatta, pemuda asal Bukittinggi yang dijuluki sebagai Bapak Ekonomi Indonesia, sejak muda merantau ke Belanda. Untuk menimba ilmu ekonomi, dan mengasah pemikiran politiknya. Di sanalah Hatta belajar tentang keadilan sosial dan sistem ekonomi yang kemudian ia bawa untuk membangun Indonesia merdeka.

Selain itu, Tan Malaka. Pemuda asal Sumatera Barat yang menjunjung tinggi pendidikan dan tradisi merantau. Juga merupakan tokoh penggerak revolusi Indonesia yang gigih menyuarakan perlawanan terhadap Belanda. Dan memperjuangkan revolusi sosial pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan Soekarno pada tahun 1945.

Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Karantau bujang daulu
Dirumah paguno alun

Pepatah di atas bagi masyarakat Minangkabau bukan hanya rangkaian kata semata. Melainkan sebagai filosofi kehidupan yang menjadi sumber spirit yang meresap ke jiwanya masyarakat Minangkabau.

Istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran. Seorang pemuda Minangkabau dianggap belum lengkap pengalaman hidupnya, sebelum ia meninggalkan kampung halamannya. Hal ini disebabkan karena sejak dulu bagi orang Minangkabau, merantau menjadi ajang pembuktian diri bisa mandiri, beradaptasi, dan bawa pulang ilmu atau rezeki buat keluarga. Bagi pemuda Minangkabau, merantau merupakan suatu budaya yang sudah mendarah daging.

Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, perantau asal Minangkabau yang tersebar di seluruh penjuru tanah air dan di luar negeri. Merupakan aset terbesar bagi tanah kelahiran mereka. Kontribusi ekonomi perantau Minang terhadap daerah asal mereka, cukup signifikan. Dengan perbaikan ekonomi, seeorang dapat membangun nagari dengan materi yang mereka punya.

Seiring berjalannya waktu, pola perantau orang Minang mengalami evolusi. Sebelum kemerdekaan, mengingat keamanan bagi perantau perempuan kurang baik, sebab di rantau kondisi keamanan yang tidak baik, merantau hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Setelah kemerdekaan, para perantau sudah mulai berangsur-angsur membawa keluarga atau saudara perempuan ke perantauan dengan berbagai alasan.

Kebiasaan merantau sudah menjadi suatu tradisi yang diturunkan ke generasi generasi berikutnya di Minangkabau. Oleh karena itulah merantau sudah menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat Minangkabau. Seperti yang diungkapkan oleh Nabila Oktaf Putri, mahasiswa perantau asal Payakumbuh dari Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

“Sudah tidak tabu lagi jika menemukan perantau dengan asal yang sama dengan saya, baik untuk meneruskan pendidikan maupun bekerja”.

Sama halnya dengan saya, banyak mahasiswa Universitas Andalas yang meninggalkan daerah asalnya untuk melanjutkan pendidikan. Maksudnya, di era modern sekarang. Merantau bukan hanya sebagai ajang perbaikan ekonomi semata. Namun saat ini, terlihat meningkatnya minat pemuda-pemudi Minangkabau untuk menuntut ilmu di perantauan.

Begitu kuat jiwa perantau bagi orang Minangkabau, sehingga tidak mengherankan jika banyak orang Minang yang pada awalnya hanya berjualan di kaki lima menjadi kaya raya dengan bermodalkan ketekunan dan keuletan. Oleh sebab itulah tidak sedikit perantau asal Minang menempati posisi penting di kawasan nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Brunai, Jepang, Thailand dan ke negara lainnya.

Adanya cerita orang-orang terdahulu yang sukses dalam perantauan merupakan motivasi tersendiri bagi kami mahasiswa Sastra Jepang, terkhususnya yang berlatarbelakang sebagai masyarakat Minangkabau untuk berperan menjadi pelaku terjadinya tradisi merantau di dalam masyarakat Minang.( yr )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *