Terkait Kasus AKBP Brotoseno, Alumni Lemhannas: KKN Makin Parah di Tubuh Polri

Nasional198 Dilihat

Indocorners.com | Bandar Lampung – Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjadi budaya yang tumbuh subur alias makin parah di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kasus koruptor Raden Brotoseno, anggota Polri berpangkat AKBP, yang kembali melenggang-kangkung bekerja sebagai penyidik madya di Dittipidsiber Bareskrim Polri itu, hanyalah satu kasus dari ratusan ribu kasus KKN yang terjadi di lembaga baju coklat itu.

 

Hal tersebut disampaikan alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, kepada jaringan media se tanah air via Sekretariat PPWI Nasional, Kamis, 9 Juni 2022. “Kasus AKBP Brotoseno, sang koruptor yang menerima suap dari tim PH media Jawa Pos Group, Harris Hedar, hanyalah ibarat sebuah buih kecil di antara hamparan ratusan ribu buih KKN di institusi Polri. Sangat sederhana untuk diteropong, mengapa si Brotoseno itu bisa balik kandang lagi, yaa apalagi kalau bukan pola 86 dengan oknum pengambil kebijakan di Mabes Polri? Tinggal tanya dia, setor berapa ke boss-nya itu,” beber Wilson Lalengke yang mengaku banyak mendapat keluhan dari rekan-rekan sesama alumni PPRA-48 Lemhannas RI yang berasal dari institusi Polri tentang budaya koruptif di internal mereka.

 

Jangankan sekelas AKBP Brotoseno yang dapat setoran Rp. 1,9 miliar dari pemilik Jawa Pos Group, Dahlan Iskan, sambung Wilson Lalengke, anggota Polri level Bintara yang mau masuk Sekolah Inspektur Polisi (SIP) saja harus setor puluhan hingga ratusan juta ke oknum pimpinan Polri. “Jadi, mulusnya Brotoseno, yang konon pernah nikah sirih dengan koruptor Anggelina Sondakh itu, meluncur bebas bekerja kembali di Mabes Polri hampir pasti karena setoran fulus ke oknum di jajaran pimpinan Polri. Untung saja tercium media sehingga heboh se jagad Indonesia. Coba kalau tidak diprotes rakyat, pasti aman-aman saja dia,” tambah lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Universitas Birmingham, Inggris, ini.

 

Budaya KKN yang sudah amat parah, baik dari sisi kwantitas yang mencakup hampir semua anggota Polri, maupun dari sisi kwalitas yang merujuk ke jumlah nominal dan intensitas praktek KKN-nya, menjadikan institusi Bhayangkara Negara itu sulit diharapkan dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal dengan baik dan benar sesuai tuntutan masyarakat. “Saya bersama tim PPWI tahun 2021 lalu membongkar kasus pemerasan yang dilakukan oleh oknum penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri, atas nama AKBP Dr. Binsan Simorangkir, S.H., M.H., terhadap salah satu anggota PPWI Banten. Barang buktinya berupa ruko tiga pintu di daerah Cileungsi, Bogor, senilai lebih dari 200 juta rupiah. Setelah disidang Kode Etik Profesi Polri, hukumannya hanya demosi, pindah ke bagian pelayanan masyarakat (Yanma) Mabes Polri, hebat bukan?” ungkap Wilson Lalengke.

 

Dari sekian banyak dugaan perilaku KKN oknum anggota Polri di berbagai daerah yang diungkap tim PPWI, demikian Wilson Lalengke, hampir semuanya tidak mampu ditindak dengan tegas dan berefek jera oleh pimpinannya. “Contoh kongkritnya yang terbaru terkait kasus oknum Kapolres Lampung Timur yang masih lenggang kangkung menduduki jabatannya hingga hari ini. Walaupun jelas-jelas oknum kapolres sempak itu membohongi pimpinannya, Kapolda Lampung dan Kapolri, soal informasi bahwa wartawan Muhammad Indra memeras Rio sejumlah 50 juta rupiah, tapi faktanya hanya 2,8 juta rupiah, namun yang bersangkutan tidak ditindak sama sekali. Yaa, apakah mungkin menindak bawahan yang sudah 86 ke atasan? Tanya saja oknum kapolres itu di bawah sumpah, dia setor berapa, ke siapa, kapan, melalui siapa, dan seterusnya, untuk bisa duduk sebagai kapolres?” beber tokoh pers nasional yang getol membela wartawan dan warga masyarakat yang terzolimi di berbagai daerah itu.

 

Namun, ujar Wilson Lalengke lagi, KKN bukan hanya mewabah di Polri dari pusat hingga ke daerah-daerah, budaya buruk ini juga berkembang di hampir seluruh instansi pemerintah. “Bahkan untuk jadi menteri saja ada setorannya loh, jangan kira gratis untuk bisa ditunjuk presiden masuk kabinetnya. Ratusan miliar maharnya itu, terutama untuk posisi menteri yang strategis. Makanya tidak heran jika akhirnya beberapa menteri yang tidak cerdas memainkan strategi merampok APBN untuk kembalikan modal mahar jadi menteri, akhirnya masuk bui. Negara ini sesungguhnya dikelola dengan budaya KKN yang lebih parah dari jaman orde baru,” pungkas trainer jurnalistik yang sudah melatih ribuan anggota TNI-Polri, Paspampres, mahasiswa, PNS, wartawan, dan masyarakat umum itu menutup pernyataannya. (TIM/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *