Indocorners.com|Tragedi pembunuhan MKP di Wisma Grand Dua Pitue, Kabupaten Sidrap bukan hanya tentang tindak kriminal yang merenggut nyawa seorang perempuan, namun juga menyisakan duka mendalam bagaimana menghadapi kehidupan yang sangat ker4s dan pahit ini.
Di baliknya, tersimpan kisah getir rumah tangga yang rapuh dihimpit kebutuhan hidup, hutang, dan pilihan yang berakhir tragis.
Dalam pemeriksaan penyidik Polres Sidrap, suami sah korban bernama Adnan (37), membuka kisah rumah tangganya. Suaranya bergetar, kadang terhenti oleh tangis, ketika menjelaskan bagaimana istrinya melak0ni profesi open booking (B0) hingga akhirnya meregang nyawa di tangan seorang tamu.
Menurut pengakuan Adnan, kondisi ekonomi keluarga mereka menjadi alasan utama sang istri menempuh jalan terjal itu. Adnan yang tidak memiliki pekerjaan tetap, hanya mengandalkan pekerjaan serabutan, tak mampu menutupi kebutuhan harian rumah tangga.
“Dia selalu bilang, kalau bukan begini, kita makan apa? Saya sudah sering larang, bahkan keluarganya juga melarang,” ujar Adnan di depan penyidik, seperti dikutip Kapolres Sidrap AKBP Dr Fantry Taherong dalam konferensi pers, Jumat 12 September 2025.
Adnan mengaku, larangan dan teguran yang ia sampaikan sering kali justru berujung pertengkaran. Istrinya itu bahkan pernah mengancam akan berpisah jika terus ditekan untuk berhenti dari pekerjaannya.
“Kalau saya terus larang, dia bilang lebih baik cer4i. Itu yang membuat saya kadang tidak bisa berbuat apa-apa,” lanjutnya.
Fakta lain yang mengejutkan adalah kehidupan pasangan ini yang ternyata sudah tiga bulan tinggal di Wisma Grand Dua Pitue. Mereka menempati kamar yang disebut strategis, dengan tarif sewa Rp250 ribu per hari.
Dari keterangan pemilik wisma, korban memiliki utang hingga Rp 3 juta karena beberapa kali menunggak pembayaran. Ia berjanji akan melunasinya jika tamu yang datang cukup banyak.
“Kami sudah benar-benar terhimpit. Kebutuhan makan, sewa kamar, semuanya jadi beban. Saya tidak sanggup. Itu alasan dia tetap jalani pekerjaan itu, meski saya menentang,” kata Adnan dengan mata berkaca-kaca.
Di malam nahas itu, Adnan sebenarnya berada di sekitar wisma. Ia mendengar suara g4duh dari kamar yang ditempati istrinya bersama tamu. Namun ketika ia mengetuk pintu, semuanya sudah terlambat. Sang istri ditemukan bersimbah darah, tergeletak tak bernyawa.
“Saya masih sempat coba ketuk pintu, tapi dia sudah pergi. Itu pemandangan yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup,” ucapnya.
Keterangan Adnan membuka sisi lain dari tragedi ini. Bahwa kasus pembunuhan di Wisma Dua Pitue bukan hanya tentang tindak pidana semata, melainkan juga potret kehidupan sosial: kemiskinan, pilihan yang terpaksa, perempuan yg harus menanggung stigma sekaligus resiko hidup.
Kini, Adnan hanya bisa menyesali. Dalam setiap ucapannya kepada penyidik, terselip rasa bersalah karena gagal menghentikan langkah istrinya. Namun, di balik semua itu, ia tetap menyebut istrinya itu sebagai perempuan yang pernah ia cintai, meski pilihan hidup membawa mereka pada ujung yang tragis.
“Dia tetap istri saya, meskipun banyak salahnya. Saya tidak sanggup melihat dia pergi dengan cara seperti itu,” ucap Adnan dengan linangan air mata.**






