Oleh: Divia Putri Zen
Pasaman —- Di Nagari Koto Rajo, ada sebuah tradisi unik, namanya molomang padi nak tebik. Di tradisi ini, para petani melakukan acara memasak ketan di dalam bambu pada saat padi berusia 2 setengah bulan, tepatnya saat padi mulai berbuah.
Tradisi molomang padi nak tebik dilaksanakan di Nagari Koto Rajo, Kecamatan Rao Utara, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Umumnya yang melakukan tradisi ini orang yang bertani dan yang memasak ataupun molomang tersebut kaum ibu-ibu. Tradisi molomang ini dilaksanakan 3-4 kali dalam setahun.
“Molomang padi nak tebik dilakukan ketika padi sudah berusia 2 setengah bulan, tepatnya ketika padi mulai berbuah. Niniak mamak setempat berunding terlebih dahulu untuk membicarakan kapan akan dilaksanakannya molomang dan setelah terjadinya kesepakatan barulah diumumkan kepada masyarakat bahwa acara molomang akan dilaksanakan pada hari yang sudah disepakati,” tutur Lilis (54), Rabu (13/12/2023).
Tradisi ini biasanya dilaksanakan menjelang subuh. Padi dimasak di dalam bambu, lubang di dalam bambu dialasi dulu dengan daun pisang lalu barulah beras ketan dimasukkan bersama campuran lainnya seperti santan dan sedikit garam. Ketika lomang sudah masak ujung lomang tersebut diambil dan dipisahkan untuk ditaburi di sawah yang tadinya mulai berbuah.
Tidak hanya ibu-ibu, anak-anak juga menyaksikan acara memasak lomang tersebut. Di waktu menjelang matahari terbit anak-anak biasanya berkumpul bersama dengan seusianya untuk maraton pagi. Karena molomang dilakukan di depan rumah, anak-anak tidak ketakutan untuk maraton. Sehingga pada acara molomang lah anak-anak sering maraton dan bangun lebih pagi.
Tradisi molomang dilanjutkan setelah shalat maghrib. Pada sore harinya niniak mamak mengumumkan agar masyarakat setempat ikut berdo’a bersama di masjid setelah maghrib dengan membawa satu bambu lomang yang tadinya sudah di masak. masyarakat yang sudah hadir di masjid berdo’a untuk keselamatan padi yang mulai berbuah, do’a dipimpin oleh imam. Setelah berdo’a dilanjutkan dengan makan lomang bersama.
“Molomang padi nak tebik ini dilaksanakan sebagai tradisi turun temurun, sebagai rasa syukur dan berdo’a kepada Allah Swt. agar padi yang mulai berbuah tersebut tumbuh dengan baik, tidak rusak dan berkualitas bagus. Maksudnya, padi itu berisi dan tidak kosong (ampo),” kata Lilis.
“Pernah waktu itu ada beberapa orang masyarakat setempat yang bertani tidak melakukan tradisi molomang padi nak tebik, padinya rusak dan tidak berisi. Sehingga setelah kejadian itu masyarakat setempat tidak berani menyepelekan tradisi tersebut. Karena umumnya mata pencaharian masyarakat di Nagari Koto Rajo adalah bertani,” imbuhnya.
Tradisi molomang padi nak tebik, tradisi yang sudah rutin dilakukan masyarakat setempat. Sehingga banyak kerabat yang tinggalnya jauh (di luar kecamatan Rao Utara) meminta dilebihkan memasak lomang dan dikirimkan kepada kerabat tersebut. Ya, karena lomang memang seenak itu, apalagi jika ditemani dengan durian.(Divia Putri Zen)