Indocorners.com l Tanah Datar Sumbangan serasa pungutan, itu headline media nasional beberapa waktu lalu. Sumbangan yang tadinya hanya bersifat suka rela, tidak mengikat, tiba-tiba berubah menjadi wajib, terikat dengan jumlah dan waktu pembayaran. Bagi yang tidak membayar, hak akademiknya dibatasi dengan tidak boleh ikut ujian, atau rapornya ditahan.
Itu pula yang senantiasa dilaporkan masyarakat ke Ombudsman. Setiap tahun, layanan pendidikan adalah substansi layanan publik yang paling banyak dilaporkan masyarakat. Sebagian besar mengenai permintaan dana pendidikan atau pungutan liar (pungli) oleh komite sekolah atau satuan pendidikan.
Pungli kemudian menjadi momok dalam dunia pendidikan kita. Biasanya terjadi di awal tahun ajaran. Minggu-minggu inilah, di mana proses belajar mengajar di satuan pendidikan baru saja dimulai.
Awal tahun ajaran, sekolah akan dihadapkan pada problem pendanaan pendidikan. Dalam rapat komite, biasanya akan ada penjelasan dari satuan pendidikan atau komite bahwa keuangan sekolah dari pemerintah tidak cukup, maka perlu tambahan pendanaan pendidikan. Perlu partisipasi orang tua guna menutupi anggaran program sekolah yang telah dibuat.
Dari kondisi inilah muncul inisiatif untuk menggalang dana pendidikan dari orang tua. Sayangnya, bentuknya adalah pungutan, bukan sumbangan atau bantuan. Padahal, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah, komite hanya diberikan kewenangan menggalang dana dalam bentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
Inilah dalil untuk menegaskan adanya pungli atau tidak, karena sederhananya pungli adalah setiap penarikan atau penggalangan dana dari masyarakat yang tidak ada dasar hukumnya. Lalu, apa sebenarnya perbedaan sumbangan, pungutan dan bantuan?
Sumbangan, Pungutan dan Bantuan
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah, sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.
Sebaliknya, pungutan, sesuai dengan Pasal 1 ayat (4) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah menjelaskan bahwa pungutan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. Jadi, berbeda dengan sumbangan yang bersifat sukarela, pungutan sebaliknya bersifat wajib dan mengikat.
Sementara, bantuan, sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah, menyebutkan bahwa bantuan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak. Intinya, pemberian dana dari pihak luar, bukan orang tua/wali murid serta pihak masih terkait dengan sekolah.
Jadi, perbedaan sumbangan, pungutan dan bantuan cukup jelas dan tegas. Dan seperti dijelaskan di atas, komite hanya dapat menggalang dana dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bukan pungutan.
Bagaimana jika komite sekolah tetap bersikeras menggalang dana dalam bentuk pungutan? Tanpa rapat komite, dikaitkan pula dengan urusan akademik. Orang tua ditakut-takuti, jika tak dibayar tidak boleh ikut ujian, tidak boleh menerima rapor. Laporkan saja pada Ombudsman Sumatera Barat, pada layanan aduan 0811 955 3737. Berani lapor itu baik, gratis tidak berbiaya.* young
Permendikbud NO 75 pasal 12 hurup b
Komite sekolah dilarang melakukan Pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya