Ketika Kesombongan Menelanjangi Kejahatan

Nasional17 Dilihat

Indocorners.com|Jakarta, Februari 2023. Malam di kawasan Pesanggrahan itu seharusnya biasa saja. Tapi satu video mengubah semuanya. Dalam rekaman berdurasi beberapa detik, seorang pemuda menendang kepala remaja lain yang sudah tak berdaya di tanah. Ia melakukannya berulang kali dengan tenang, bahkan sambil menatap kamera.

Pemuda itu adalah Mario Dandy Satriyo, 20 tahun. Korban di bawah kakinya adalah Cristalino David Ozora, 17 tahun. Dan video itu direkam oleh temannya, Shane Lukas Cornelius, yang justru terdengar tertawa dan menyemangatinya.

Awal dari Segalanya

Semua berawal dari pesan singkat. Mario mendapat kabar bahwa David teman dari mantan pacarnya disebut memperlakukan gadis itu dengan tidak sopan. Tanpa berpikir panjang, Mario bersama Shane dan sang gadis berinisial AG berangkat malam itu.

Mereka menjemput David ke rumah seorang temannya. Awalnya tampak seperti ajakan bicara. Tapi begitu tiba di lapangan kosong di Ulujami, wajah Mario berubah. Ia memerintahkan David push-up. Lalu, setelah David kelelahan, Mario menendang kepalanya. Berkali-kali.

Shane merekam, AG menangis. Dan di tanah, David tidak bergerak lagi.

Tak lama kemudian, warga datang dan memanggil polisi. David dibawa ke rumah sakit dengan kondisi koma, mengalami cedera otak berat (traumatic brain injury).

Video penganiayaan itu bocor ke media sosial. Malam itu juga, nama Mario Dandy langsung menjadi sorotan seluruh Indonesia.

Dari Kekerasan ke Sorotan Harta

Bukan hanya karena kekejamannya, tapi karena simbol yang ia bawa. Mario datang ke lokasi penganiayaan menggunakan mobil Jeep Rubicon Wrangler hitam, dengan pelat nomor “bodong” dan pajak yang belum dibayar.

Mobil mewah itu ternyata milik ayahnya seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak bernama Rafael Alun Trisambodo.
Publik mulai bertanya: dari mana anak seorang pejabat eselon III bisa hidup bergelimang kemewahan seperti ini?

Kementerian Keuangan bereaksi cepat. Nama Rafael dibuka ke publik. Data LHKPN-nya menunjukkan kekayaan sekitar Rp 56 miliar. Angka besar untuk seorang pejabat menengah. Tapi KPK menemukan sesuatu yang lebih dalam dan jauh lebih besar.

Benang Merah yang Terkuak Perlahan

Dalam penyelidikan, KPK menemukan bahwa Rafael sudah lama menerima gratifikasi dari sejumlah pihak yang memiliki urusan dengan Direktorat Pajak. Modusnya rapi: uang diterima lewat perusahaan yang dikendalikannya sendiri PT Artha Mega Ekadhana (ARME) lalu dialirkan ke berbagai aset atas nama orang lain.

Antara tahun 2003 hingga 2023, Rafael diduga menerima dan memutar uang sekitar Rp 94,6 miliar. Uang itu disamarkan menjadi tanah, rumah, kendaraan mewah, rekening atas nama istri, bahkan mata uang asing. KPK menyita 20 aset bernilai total Rp 150 miliar termasuk rumah di Jakarta Selatan, properti di Yogyakarta dan Manado, serta koleksi mobil mewah dan motor besar.

Nama Rafael makin dalam di pusaran. Apa yang dulu tampak sebagai “gaya hidup sukses” keluarga pejabat, ternyata dibangun di atas pondasi uang kotor.

Dari Anak yang Memukul ke Ayah yang Menyembunyikan

Ketika Mario Dandy diadili karena penganiayaan terhadap David, publik menyaksikan bagaimana kesombongan sosial anak pejabat berubah menjadi tragedi. Namun di balik jeruji penjara anaknya, sang ayah justru menghadapi jeruji hukum yang lebih besar dan jauh lebih kompleks.

Rafael dijerat dua pasal berat:

– Pasal 12B UU Tipikor tentang gratifikasi,
– Pasal 3 UU TPPU tentang pencucian uang.

Jaksa membeberkan rincian gratifikasi senilai Rp 16,6 miliar, dan transaksi TPPU yang mencapai puluhan miliar lebih.
Dalam dakwaan, Rafael bahkan disebut menerima uang dari pihak-pihak tertentu secara berkala selama hampir dua dekade.

Persidangan dan Kejatuhan

Persidangan Rafael di Pengadilan Tipikor Jakarta berjalan panjang dan tegang. Jaksa menunjukkan bukti rekening, dokumen perusahaan, dan sertifikat tanah yang disamarkan. Rafael berulang kali membantah, menyebut uang itu hasil bisnis keluarga. Tapi bukti berbicara lain.

Pada Juli 2024, hakim membacakan putusan:

“Terdakwa Rafael Alun Trisambodo terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 10.079.095.519 dan melakukan tindak pidana pencucian uang.”

Ia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan diwajibkan membayar uang pengganti lebih dari Rp 10 miliar.
Sebagian besar asetnya dirampas negara. Pada 27 Agustus 2024, KPK menyetorkan Rp 40,5 miliar hasil eksekusi ke kas negara.

Sementara Itu, Korban Masih Berjuang

Di sisi lain, David Ozora, remaja yang menjadi korban Mario, masih berjuang melawan luka panjang. Setelah berbulan-bulan koma, ia akhirnya sadar, tapi dengan kondisi berbeda. Terapi dan pemulihan otak masih berlangsung hingga kini.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara untuk Mario, dan 5 tahun untuk Shane Lukas.
Selain itu, hakim menetapkan restitusi senilai Rp 120 miliar yang wajib dibayar oleh para pelaku untuk biaya perawatan dan kerugian David.

Cermin untuk Negeri

Dari satu tindakan kekerasan di jalanan, publik Indonesia menyaksikan sesuatu yang jauh lebih besar: potret kesenjangan sosial dan penyalahgunaan kekuasaan. Kasus Mario bukan sekadar penganiayaan, dan kasus Rafael bukan sekadar korupsi. Keduanya adalah cerita tentang kesombongan yang menurun dari ayah ke anak dan tentang sistem yang akhirnya memantulkan wajah aslinya sendiri.

Penutup

Kini, Mario menjalani hukumannya di balik jeruji besi. Rafael menatap tahun-tahun panjang di penjara korupsi. Dan di luar sana, David Ozora masih berjuang untuk berjalan dan berbicara dengan normal.

Tragedi ini menjadi pelajaran pahit tentang dua hal: bahwa kekuasaan tanpa moral akan melahirkan arogansi, dan bahwa keadilan, meski datang terlambat, selalu menemukan jalannya.

Karena kadang, satu tindakan kekerasan kecil bisa membuka pintu menuju kebenaran yang jauh lebih besar kebenaran tentang bagaimana kita hidup, siapa yang kita hormati, dan seberapa dalam luka bangsa ini sebenarnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *