Jenjang Museum Istano Basa Pagaruyung, lambang Demoksasi Minangkabau, 

Daerah, Dunia Wisata748 Dilihat

Oleh Riadi ST Polowan, SE

INDOCORNERS.COM | Sejak Zaman dahulu Minangkabau sudah menganut Azas Demokrasi sudah berlaku umum yang terapkan berbeda tergantung dari selelarasan yang di pakai oleh setiap daerah di Minangkabau,

 

Secara garis besar di Minangkabau ada dua keselarasan yang di anut oleh masyarakat berdasarkan daerah yang telah di tetapkan oleh dua orang peletak dasar, bentuk dan azas di Ranah minangkabau yang sekarang ini kita kenal Keselarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago

 

Dua keselarasan tadi dapat kita temukan pada Museum Istano Basa Pagaruyung yang dilambangkang berupa Tangga (Tanggo,Janjang).

 

Setiap rumah gadang di Minangkabau selalu memiliki jenjang. Jenjang dalam bahasa lainnya adalah tangga, namun dalam filosofi Minangkabau antara jenjang dengan tangga sangat jauh bedanya. Kalau kita naik dari jenjang, dinamakan dengan Janjang. Tapi kalau kita turun dari jenjang dinamakan Tangga. Itulah filosofi dalam adat Minangkabau “Bajanjang Naiak Batanggo Turun”.

 

Sebelum naik tangga ke museum, ada sebuah batu besar dan lebar yang disebut dengan batu tapak. Batu tapak ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jenjang museum. Sebelum naik ke dalam Istana, kita harus berhenti disini dengan mencuci kaki terlebih dahulu, karena zaman dahulu tidak mengenal sendal ataupun sepatu.

 

Dalam Artchive Indonesia Journal of Visual Art and Design ISI Padang Padang Volume 02 No.1 Juni 2021 hal.19 membagi tangga Museum istana ini dengan beberapa bagian:

 

Anak Janjang

 

Anak janjang Istano Basa Pagaruyung ada 11 buah. Keberadaan janjang melambangkan kedudukan dari empat kelarasan Koto Piliang dan empat dari kelarasan Bodi Caniago. Sedangkan Tiga lagi melambangkan kedudukan Rajo Nan Tigo Selo, yaitu: Rajo Adat, Rajo Ibadat dan Rajo Alam.

 

Tanggo

 

Tanggo adalah selembar kayu vertikal antara anak janjang ke anak janjang yang lebih rendah, ia mewakili kekuatan keputusan mufakat pada masing-masing tingkat mufakat yang disahkan dan diperkuat oleh keputusan pimpinan disetiap tingkat pemerintahan.

 

Tangan-Tangan Janjang

 

Tangan-tangan janjang mewakili dan melambangkan norma-norma dalam pelaksanaan demokrasi melalui mufakat, norma-norma tersebut harus dilandasi oleh langgam adat, Undang-Undang Luhak dan Agama Islam untuk mencapai hasil yang maksimal dan sekaligus untuk menghindari masyarakat dan kerajaan dari jurang kehancuran sebagai akibat hasil-hasil proses demokrasi yang tidak mengikuti norma-norma yang semestinya.

 

Koto piliang dan Bodi Caniago yang digambarkan melalui jenjang (Janjang) , adalah dua kelarasan yang menganut demokrasi yang berbeda. Dikutip dari Sako, Pusako dan Sangsako Menurut adat Minangkabau Buku karangan HIM. DT. Rajo Penghulu terbitin tahun 1979 tentang tatacara Pengambilan Keputusan dalam masyarakat Minangkabau menjelaskan:

 

Di Minangkabau terdapat dua sistem yang berpengaruh terhadap politik pemerintahan adat. kedua sistem tersebut sudah sangat dikenal sekali, yaitu dan Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Bodi Caniago menerapkan sistem demokrasi dan Koto Piliang menerapkan sistem otokrasi.

 

Demokrasi Bodi Caniago dapat disebut juga dengan demokrasi murni. Dimana demokrasi yang dipakai adalah demokrasi langsung. Seseorang yang disebut mamak langsung berhubungan dengan kemenakannya. Mamak, khususnya pangulu tidak memiliki tingkatan, atau memiliki kedudukan yang sama. Bodi caniago lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. Karena memang prinsipnya adalah musyawarah tersebut biasanya tidak ada permasalahan yang tidak dapat terselesaikan. Kalau dalam adat minangkabau biasanya disebut “indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah”.

 

Sedangkan Koto Piliang di sebut juga dengan demokrasi tidak langsung. Dimana seorang mamak pangulu tidak langsung berhubungan dengan rakyatnya. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran ini pangulu memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkatan tersebut dimulai dari mamak tungganai, yang berhubungan dengan tingkat di atasnya yaitu pangulu andiko. Pangulu andiko berhubungan dengan tingkat di atasnya yang disebut dengan pangulu kaampek suku. Lalu pangulu kaampek suku ini berhubungan dengan pangulu pucuak. Pangulu pucuak adalah tingkatan yang paling atas dalam suatu nagari. Sistem ini dikenal juga dalam minangkabau dengan “bajanjang naik, batanggo turun”.

 

Filosofi dari “bajanjang naiak, batanggo turun” (berjenjang naik, Bertangga turun), “naiak dari janjang nan di bawah, turun dari janjang nan di ateh” (naik dari jenjang yang di bawah, turun dari jenjang yang di atas). Permasalahan diajukan dari bawah, dari anak kemenakan. Dari anak kemenakan diajukan kepada tingkat “tunganai”, diteruskan kepada tingkat penghulu andiko, dilanjutkan ke tingkat Penghulu Kaampek Suku, dan akhirnya sampai kepada Penghulu Pucuak. Keputusan diambil pada tingkat Penghulu Pucuak. Penghulu Pucuak menurunkan kembali keputusan itu melalui jalur yang sama, hingga anak kemenakan menerimanya.

 

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan pada masyarakat hukum adat di Minangkabau baik dari kelarasan Bodi Caniago maupun Koto Piliang mempunyai ciri khas tersendiri, dimana ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam pengengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, dimana masing-masing pihak mempunyai peran dan tanggung-jawab berdasarkan tugas dan fungsinya di masyarakat, dan dibenarkan untuk berbeda pendapat, permasalahan diselesaikan berdasarkan kepatutan dan keputusan yang diambil merupakan suara bulat sehingga dapat dilaksanakan.

 

Nah, begitu pulalah dalam penyelesaian Masalah hukum yang terjadi saat ini, baik itu perdata maupun pidana. Kita di larang main hakim sendiri. Ada proses yang harus dilalui dalam menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan hukum. Mulai dari Kepolisian, kejaksaan sampai kepada pengadilan (untuk pidana). Itulah yang disebut ” Bajanjang Naiak Batanggo Turun”.

 

Lareh Koto Piliang disusun oleh Datuak Katumangguangan. Datuak Katumangguangan ini adalah raja yang suka memerintah dan sifatnya sangat keras. Jika aturanya dilanggar, ia marah sekali. Datuak Katumangguangan juga keras dalam memerintah. Lareh Koto Piliang diatur dan ditata dengan cara-cara yang keras pula. Semua peraturan dibuat oleh pemimpin. Rakyat tidak diikutsertakan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan pemimpin. Rakyat hanya melaksanakan aturan saja. Apabila ada yang melanggar harus dihukum.

 

Pelaksanaan aturan Lareh Koto Piliang ini diungkapkan dalam kata petitih di bawah ini :

 

Nan babatih nan bapaek

Nan baukua nan bacoreng

Titiak dari ateh

Turun dari tango

Tabuja lalu tabalintang patah

 

Apakah arti petitih di atas? Artinya rakyat tiada berdaya kekuasaan berada ditangan pemimpin [datuak]. Begitulah Lareh Koto Piliang, terukir dalam sejarah dan Budaya Alam Minangkabau.

 

Lareh Bodi Caniago menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Peraturan yang dijalankan adalah hasil musyawarah pemimpin dan rakyat. Pelaksanaan aturan Lareh Bodi Caniago ini diungkapkan dalam petitih berikut:

 

Putuih rundingan dek sakato

Rancak rundiangan disapakati

Kato basamo kato mufakaik

Sasukua mangko manjadi

Sasuai mangko talamak

Tuah dek sakato

 

Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya sistim Demokrasi yang ada di Alam Minangkabau ada dua keselarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang sementara yang di pakai oleh kerajaan pagaruyung adalah keselarasan koto piliang dalam menyesaikan sautu perkata ataupun petintah dari raja dan ini biasa di sebut Adat Raja.***